Read more

Artikel tentang Pengelola Wakaf



Untuk mengelola harta wakaf dibutuhkan pengelola atau dalam fiqh disebut dengan nadzir. Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara-yandzuru nadzaran yang mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasif. Adapun nadzir adalah isim fa'il dari kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan nadzir wakaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. 

Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima hartabenda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. 

Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan nadzir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Asaf A.A. Fyzee berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban nadzir adalah mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Dengan demikian nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. 

Badan Wakaf Indonesia 
Pada masa kini masih banyak masyarakat khususnya umat Islam belum memahami dan mengerti keberadaan lembaga wakaf. Padahal lembaga wakaf di Indonesia telah dikenal dan berlangsung seiring dengan usia agama Islam masuk ke Nusantara, yakni pada pertengahan abad ke-13 Masehi. Kenyataannya dalam perkembangannya, lembaga wakaf belum dipahami masyarakat serta belum memberikan kontribusi yang berarti dalam rangka peningkatan kehidupan ekonomi umat Islam. Masalah wakaf merupakan masalah yang masih kurang dibahas secara intensif. Hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan.